Asal Muasal Tuak Bagot, Dari Air Mata Gadis Rupawan
Mitos atau fakta dari sekian banyak legende atau cerita rakyat Batak Toba, salah satu
diantaranya yang cukup menarik adalah cerita tentang asal muasal minuman
“tuak bagot”, yakni tuak yang bersumber dari pohon enau.
Tulisan ini diterjemahkan/disunting dari tulisan Friemar di surat
kabar keliling Imanuel tanggal 19 November 1919. Mungkin ada manfaatnya
di dongengkan untuk pengantar anak menjelang tidur.
Menurut cerita, tuak bagot lebih dulu ada dari tuak kelapa. Rasanya
pun tidaklah sama. Kalau tuak kelapa rasanya lebih manis dan kadar
alkoholnya lebih tinggi dibanding tuak bagot. Sedang tuak bagot bagot
rasanya agak asam, kadar alkoholnya lebih rendah. Kebanyakan kedai tuak
lebih suka menjual tuak bagot, karena peminatnya juga lebih banyak.
Selain itu tuak bagot juga dianggap mujur untuk memperlancar air susu
ibu yang baru melahirkan. Itu sebabnya ibu yang baru melahirkan terutama
di desa selalu dianjurkan minum tuak, agar “tarusnya” deras sehingga
bayinya tidak merasa kekurangan minum.
Mungkin pula bisa dipercaya bisa tidak, hal itu ada hubungannya
dengan kisah terjadinya tuak bagot, konon bermula dari airmata seorang
gadis rupawan yang mengorbankan dirinya menjelma menjadi sebatang pohon
enau (bagot) untuk membebaskan ayahnya dari belenggu hutang. Syahdan,
dahulu kala di sebuah perkampungan di pinggiran Danau Toba tersebutlah
seorang anak lelaki tua hidup berdua dengan anak gadisnya yang berwajah
rupawan (cantik). Lelaki tua itu bernama Jalotua, dan anak gadisnya
bernama Pitta Bargot Nauli. Ada pun Jalotua sudah lama menduda sejak
kematian isterinya tatkala Pitta Bargot berusia dua tahun. Hidup mereka
sangatlah sengsara karena kemiskinan. Kalaupun mereka mengusahai secuil
tanah, itu hanya dapat menghidupi mereka untuk jangka waktu tidak lama.
Kesusahan bagi Jalotua dan anak gadisnya datang silih berganti.
Apalagi ketika suatu ketika si Pitta Bargot jatuh sakit, bertambahlah
kesusahan hati lelaki itu. sudah hidup sulit, datang lagi penyakit
menimpa anak tercinta. Pikir punya pikir, akhirnya Jalotua pergi
menjumpai orang kaya di kampung itu minta pinjaman uang untuk biaya
mengobati anaknya. Tentu saja Jalotua tidak mempunyai borg (jaminan)
kecuali sebidang tanah yang mereka usahai selama ini.
Suatu malam, Pitta Bargot berkata pada ayahnya: “Hidup kita terus
me
nerus susah. Aku pikir kita perlu mengadakan suatu acara margondang
sambil berdoa kepada Mulajadi Nabolon, siapa tahu nasib kita bisa
berobah”.
Tapi ayahnya menjawab: “Bagaimanalah mungkin itu boru, biaya untuk
margondang itu cukup besar, apa daya kita. Kalau kita mau pinjam uang
pun apa jaminannya nanti, sedang untuk makan pun kita sulit”.
Mendengar ucapan ayahnya itu, Pitta Bargot berkata : “Kalau itu
persoalannya, aku bersedia amang berikan sebagai jaminan. Mungkin orang
kaya itu mau memberikan uangnya kita pinjam. Mulanya Jalotua tak tega
menuruti usul putrinya itu, tapi karena Pitta Bargot mendesak, akhirnya
jadi juga anak gadisnya itu ditawarkan kepada orang kaya itu untuk
dijadikan “barang” jaminan.
Kemudian berangkatlah keduanya ke rumah orang kaya tersebut. Setelah
hal itu diberitahu, si orang kaya ternyata setuju memberikan pinjaman
dengan Pitta Bargot sebagai jaminan. Orang kaya itu berpikir, kalau pun
nanti Jalotua tidak mampu mengembalikan uang pinjamannya maka sesuai
dengan perjanjian, si Pitta Bargot yang cantik itu jadi miliknya dan
nanti bisa dijadikan istri kelima. Setelah uang itu diberikan kepada
Jalotua,maka Pitta Bargot pun tinggallah sementara di rumah orang kaya
itu.
Berangkatlah si Jalotua membawa uang pinjamannya, mencari pargonsi
(grup gondang sabangunan) sesuai saran anak gadisnya. Setelah pemusik
gondang sudah ditemukan, dan hari pelaksanaannya ditentukan, si Jalotua
pun menjumpai anak gadisnya di rumah si orang kaya memberitahu rencana
tersebut.
Pitta Bargot kemudian menjumpai si orang kaya meminta izin agar
diperkenankan ikut dalam pesta gondang pada hari yang ditentukan
ayahnya. Tapi Pitta Bargot juga bertanya : “Bagaimanakah sekiranya
penyakitku kambuh saat pesta berlangsung, lalu aku mati di sana, apakah
kami juga membayar hutang yang dipinjam damang?”.
Si orang kaya menjawab : “Baiklah, kau boleh pergi menghadiri pesta
itu. tapi setelah pesta selesai, kembalilah ke sini. Tentang kematian
yang kau sebut, itu adalah takdir setiap manusia kalau sudah waktunya.
Kalau memang kau meninggal saat pesta gondang itu, ayahmu tak perlu
membayar hutang-hutangnya”.
Pitta Bargot lalu menceritakan hal itu pada ayahnya. Tapi dalam
hatinya sudah ada pikiran tertentu, bahwa orang kaya itu ingin memiliki
menjadi istri. Pitta Bargot tidak percaya dengan ucapan orang kaya itu.
Dia juga kasihan ayahnya tak sanggup membayar hutangnya setelah pesta
selesai. Pitta Bargot pun martonggo (memohon) kepada Mulajadi Na Bolon
agar ia dijadikan menjadi sesuatu yang nantinya bisa membebaskan ayahnya
dari kesusahan. Saat itu Pitta Bargot telah merasakan bahwa
keinginannya akan dikabulkan, sesuai dengan mimpinya. Berkatalah Pitta
Bargot kepada ayahnya :
“Amang, janganlah bersedih bila ini kukatakan.
Kalau aku mati nanti di pesta gondang itu, itu adalah berkat bagi
kehidupan dan kebahagiaanmu. Tapi ingatlah amang, setelah aku mati,
janganlah mayatku dikubur, karena aku nanti akan berubah menjadi
sebatang pohon yang tumbuh di atas tanah yang bisa amang saksikan
sepanjang masa. Kalau amang membuat rumah nanti, ambillah rambutku
menjadi atapnya, dan tanganku bisa dijadikan tiang-tiang dan urur. Kalau
badanku, amang ambillah untuk papan lantai atau dinding. Dan kalau
amang tak punya uang, pukulilah bagian mataku, agar air mataku keluar.
Tampunglah airmata itu, karena nanti itu bisa dijual menjadi minuman
yang disukai banyak orang”.
Mendengar hal itu, ayahnya sangat sedih. Pendek cerita gondang pun diadakan di halaman rumahnya. Saat pesta sudah berlangsung dan musik
gondang terdengar tiga putaran, si Pitta Bargot mendadak kesurupan. Saat
gondang dibunyikan untuk ke tujuh kalinya, Pita Bargot kejang-kejang,
dan tak lama kemudian kedua kakinya melesak ke dalam tanah. Yang lebih
menggemparkan, sekonyong-konyong seluruh tubuhnya berubah sedikit demi
sedikit menjadi sebatang pohon yang makin lama makin besar, lengkap
dengan daun-daun sebagaimana halnya sebatang pohon hidup. Seluruh
hadirin yang ada di pesta itu terkejut dan berhamburan kesana-kemari,
karena peristiwa seperti itu belum pernah terjadi.
Sejak itu pohon itu diberi nama “bagot”, yang diambil dari nama Pitta
Bargot. Pohon itu berurat ke bawah, berdaun ke atas. Lama-lama tumbuh
pula “mata” pohon yang disebut juga arirang. Setelah tiba saatnya
Jalotua memukuli bagian mata pohon itu seperti dipesankan putrinya. Air
yang keluar deras dari air mata bagot itu kemudian dinamakan tuak. Sejak
itu Jalotua menjualnya kepada orang-orang sekampung, yang lama kelamaan
menyebar ke berbagai penjuru. Pohon bagot itu pun beranak pinak, tumbuh
di berbagai tempat, dan memberi kehidupan pula bagi orang lain.
Kemudian Jalotua pun mendirikan rumahnya. Semua perlengkapan untuk
rumah tak ada yang dibeli, tapi dimanfaatkan dari pohon bagot seperti
pesan Pitta bargot. Mulai dari ijuk, batang, sampai lidi menjadi benda
yang bermanfaat untuk manusia.
No comments:
Post a Comment